Reformasi menjadi angin segar dalam kebebasan
berpendapat. Alhasil, selama 20 tahun berjalan represi ala Orde Baru (Orba)
sudah tak ada lagi. Kini, Indonesia memang semakin demokratis dan lebih terbuka.
Meski, bukan berarti warisan buruk Orba hilang begitu saja.
Salah satu warisan
tersebut adalah oligarki. Oligarki mencapai kemapanan di rezim ini yang
ditandai dengan penguasaan negara oleh segelintir elite. Bayangkan, negeri
sebesar Indonesia dikuasai oleh sebuah keluarga, militer, dan pengusaha, lalu
kekayaannya dikeruk untuk memperkaya diri dengan menyisakan sedikit untuk
rakyat. Miris sekali bukan? Dan itu terjadi selama 30 tahun lebih.
Eh, iya, keasyikan
menceritakan oligarki Orba sampai lupa menjelaskan definisinya. Hehehe Simak nih.
Merujuk ke asal
katanya, oligarchia, oligarki secara
umum diartikan sebagai “pemerintahan oleh yang sedikit”. Secara
kebahasaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan oligarki sebagai “pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang
berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu” dan Miriam-Webster Dictionary mendefiniskan “a government in which a small group exercises control especially for
corrupt and selfish purposes”
Sementara dari kaca
mata ilmu politik, mengutip Jeffrey A Winters, Associate Professor dari
Northestren University, oligarki dapat dimaknai sebagai sistem kekuasaan yang
dijalankan atau dikendalikan oleh golongan atau pihak berkuasa dengan tujuan kepentingan
golongan itu sendiri. Merunut ke pengertian dan tafsiran penulis buku "Oligarchy" tersebut, sangat relevan
dengan apa yang dilakukan oleh Orba di masa lalu.
Tapi kan Orba sudah
tumbang. Apa itu berarti oligarki (dalam) politik hilang juga dalam
perpolitikan nasional?
Begini, jawabannya
tidak hilang sama sekali bahkan menyebar ke daerah-daerah akibat terjadinya
desentralisasi atau diberlakukannya otonomi daerah. Kalau dulu masa Orba
oligarki dilakukan secara terpusat, sekarang justru oligarki dipraktikkan oleh
“raja-raja” baru di daerah.
Contoh nyata, pembaca yang agak sering mengikuti berita hukum terkait korupsi tentu cukup akrab
dengan dinasti politik Banten. Di provinsi hasil pemekaran Jawa Barat tersebut posisi-posisi penting pemerintahan diisi oleh keluarga dan kolega-kolega dekat.
Di pucuk pimpinan
misalnya ada Ratu Atut Chosiah sebagai gubernur (sebelum dipenjara karena
terlibat korupsi). Dia punya adik, Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan (juga
dipenjara karena terbukti korupsi) seorang pengusaha yang beristrikan Airin
Rachmi Diany, Walikota Tangerang Selatan.
Selanjutnya, ada
juga adik-adik Atut yang lain, Ratu Tatu Chasanah yang merupakan Bupati Serang
dan Tubagus Haerul Jaman, Walikota Serang. Cukup? Belum. Ibu tiri Atut,
Heryani, pada 2011 juga merupakan wakil bupati Pandeglang. Dan tak menutup
kemungkinan, di berbagai instansi pemerintahan Banten hingga tingkat rendah
sekalipun, bercokol keluarga dan kolega-kolega dekat mereka lainnya.
Itu satu. Contoh
lainnya gejala oligarki politik pasca Orba juga bisa dijumpai dalam realitas
partai politik. Sebagai “kendaraan” yang semestinya mewakili aspirasi
masyarakat dan melakukan pendidikan politik, partai politik sering kali justru
harus melayani kepentingan para oligark –
sebutan kaum oligarki.
Walhasil, aspirasi
rakyat menjadi tak terwakili karena partai hanya dijadikan alat untuk
melanggengkan kekuasaan segelintir elite. Partai menggelar karpet merah bagi
pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah, sementara rakyat dikorbankan
semata sebagai objek politik lima tahunan. Ini tentu sangat buruk buat
keberlangsungan demokrasi Indonesia karena menguatkan asumsi bahwa partai
politik gagal dalam melakukan fungsinya sebagai agregator demokratisasi.
Karena itu, penting
bagi kita, Anda, pembaca yang budiman, tanpa kecuali, kalau sudah memiliki hak pilih, bijaklah
dalam memilih saat mencoblos di pemilu nanti. Dan pastikan partai/caleg/capres/cawapres itu bebas
dari oligarki dan dapat mewakili kita semua. Bukan justru mewakili kelompoknya saja. Mudah-mudahan ....
Ilustrasi visual: steemkr.com/politics/@mindreader/the-us-is-a-corporatist-oligarchy
Posting Komentar