Top Menu

Pelajaran Sejarah Itu Membosankan, Titik!



Pelajaran sejarah bisa jadi pelajaran yang paling membuat tak semangat. Buat Anda yang pernah sekolah, pasti mafhum dengan hal ini. Pelajaran Sejarah itu membosankan. Titik. Terlebih kalau kita menghadapi kenyataan – saat itu – jam pelajarannya ditempatkan paling akhir. Yassalaammmmm.

Penderitaan sudah selesai? Belum dong. Masih ada tugas menghapal buat ulangan dan ujian. Ya Allah, matematika aja udah segitu pusingnya, eh, ini diminta menghapal tokoh-tokoh, tempat, dan peristiwa lagi.  

Pikiran-pikiran yang muncul, ketika itu, seringkali berkutat pada, mending pelajaran sejarah dihapus aja deh. Ya kan? Tapi tunggu dulu. Sabar. Tarik napas. Baca istighfar. Dari kaca mata anak muda yang bau kencur, sedikit rebel okelah. Toh, sebenarnya pelajaran apa pun selain sejarah kita malas juga. Mboseni juga karena gak lebih menyenangkan daripada maen PS atau Counter Strike (ketahuan banget ya, masa mudanya di tahun 2000-an awal hehehe)

Tapi menyalahkan pelajaran sejarah ternyata bukan solusi. Sebab sejarah sebagai sebuah ilmu punya manfaat yang terlampau besar kalau dihapuskan. Pemikiran ini, tiba-tiba muncul saat membaca Metodologi Sejarahnya Kuntowijoyo. Buku wajib mahasiswa sejarah, yang ironsinya, jarang dibaca penulis saat masih berstatus mahasiswa.

Ikhtisarnya kira-kira begini: Sejarah memungkinkan kita untuk menggali nilai-nilai kehidupan dari sebuah peristiwa masa lampau. Dengan memahami sejarah, kita tidak akan mengulangi kesalahan. Sehingga perang dan tragedi-tragedi kemanusiaan bisa diantisipasi bahkan dicegah. Intinya, sejarah membuat masa lalu tak (lagi) menjadi beban. Melalui sejarah pula, kita bisa tahu ternyata peradaban itu begitu kaya, beragam dengan segala kekhasan budaya dan masyarakatnya.

Jadi, sebenarnya apa yang menyebabkan pelajaran sejarah begitu membosankan?

Kalau mau gampang, ya, tinggal tunjuk hidung guru sejarah. Niscaya mereka tak bisa mengelak karena kekurangkreatifan metode pengajaran merekalah, yang berkutat pada menjelaskan di depan kelas bermodal “buku paket”, memungkinkan stigma itu tercipta. Dengan catatan, tentu saja tidak semua guru sejarah seperti itu tentunya. Sebagian besarlah, ya. 

Namun di balik itu ada masalah yang lebih besar karena perlu diingat, guru sejarah itu adalah muara dari sebuah sistem. Mereka adalah hasil didikan sebuah institusi dan semata-mata menjalankan kurikulum yang berlaku. Dari sisi institusi, siapa lagi yang membekali dan mempersiapkan para calon guru sejarah sebelum terjun mengajar kalau bukan universitas pencetak guru? Kalau lulusannya kayak begitu, ya, tentu ada yang salah di institusi tersebut.

Dari sisi kurikulum pun tidak bisa dinafikan: Di mana pembelajaran sejarah selalu terpaku pada kurikulum sejarah dengan materi yang terlalu banyak tapi dengan jam yang sedikit (Tingkat SMA/SMK misalnya 2 jam (2x45 menit) dan diulang-ulang begitu saja dari SD, SMP hingga SMA. Kontennya, kebanyakan sejarah politik. Padahal kalau materi yang diajarkan lebih variatif, tentu hal ini bisa membuat siswa lebih antusias. Misalnya, daripada terus menerus mengisahkan dijebaknya Diponegoro atau dibuangnya Sukarno dan Hatta ke pengasingan, kiranya lebih seru kalau mengisahkan biografi hidup mereka.

Lalu daripada berbicara tentang penaklukkan Banten oleh VOC atau Belanda yang keok tanpa syarat oleh Jepang, jauh lebih asyik tentunya, menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia bertahan hidup masa Revolusi Fisik saat ekonomi hancur tapi mesti ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Dan apakah benar semua rakyat masa itu berjuang demi Indonesia?

Kesimpulannya, agar sejarah lebih disukai dan tidak membosankan perlu revitalisasi dari dua sisi. Pertama, pemerintah perlu memastikan institusi pencetak guru menelurkan guru-guru sejarah yang mumpuni dan kreatif, pun tak ada ruginya pula menambah jam pelajaran sejarah serta memperkaya kurikulumnya.

Satu hal penting lain yang juga tak boleh luput dari perhatian pemerintah adalah jenis sejarah yang diajarkan dalam kurikulum. Dengan kata lain, jangan sejarah politik melulu dengan ruang lingkup dunia dan nasional yang diajarkan, tapi juga “sejarah daerah atau sejarah lokal” di mana siswa-siswi berasal. Sehingga generasi muda Indonesia tidak hanya fasih berbicara mengenai sejarah pemikiran Yunani kuno, Eropa Abad Tengah hingga Indonesia Modern, tapi juga menguasai sejarah daerahnya sendiri.

Kedua, dari sisi pengajar, guru sejarah sudah semestinya tidak hanya menceritakan ulang peristiwa sejarah, tetapi juga memberikannya makna (menafsir) agar sejarah lebih hidup sehingga berujung pada tumbuhnya imajinasi aktif dan ketertarikan siswa terhadap sejarah kian bertumbuh. 

Menggali sumber-sumber pengajaran di luar buku paket pun perlu dilakukan untuk memperkaya wawasan guru. Sebab kalau cuma berdasarkan buku paket, terlebih di zaman ini di mana semua informasi bisa didapatkan dengan mudah, saat guru sejarah mulai menjelaskan, mungkin siswa-siswi akan berkata dalam hati, “Hello, bapak dan ibu guru sejarah yang kami hormati, kalau cuma mengulang peristiwa-peristiwa sejarah dari buku, tinggal meluncur ke mesin pencari, sejarah Greenland sampai Antartika pun ada, mending tidur aja deh”

Karena itu, metode-motede belajar pun perlu diperkaya lagi, misalnya belajar keluar kelas seperti ke museum atau situs-situs sejarah, memanggungkan lakon sejarah, belajar film, atau mungkin membuat permainan ala detektif untuk mengungkap misteri. Yakinlah, kalau metode-metode ini diterapkan, stigma pelajaran sejarah yang membosankan akan hilang dengan sendirinya.

Foto: huffpost.com 

Posting Komentar

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates