Top Menu

Beda Nasib Stasiun dan Terminal



Pernah suatu masa, stasiun kereta mirip warung serba ada. Ada kopi, mie instan, obat anti mabuk, tisu, bahkan pedagang pecel. Pun di dalam keretanya sendiri, lebih mirip pasar tradisional. Ada yang nyapu kolong tempat duduk, pedagang asongan, pengamen, sampai penjaja rupa-rupa makanan khas di setiap pemberhentian stasiun.

Bisa dikatakan, transportasi kereta sebelum revolusi yang dilakukan Ignatius Jonan saat menjabat Dirut KAI, kacrut banget. Yang paling parah sih pastinya penumpang bisa naik seenaknya tanpa karcis. Cukup membayar ke petugas di atas gerbong seikhlasnya, Anda bisa naik, meski mungkin harus berdiri sepanjang perjalanan. Benih-benih korupsi sudah dimulai dari bawah, yekan?!

Namun lihatlah kini? Kondisinya jauh berbeda. Setiap penumpang pasti dapat tempat duduk di kereta. Tak ada pengamen yang kadang berprofesi ganda; ganti senjata dari gitar atau "kecrek" menjadi kemoceng lalu melotot kalau tak diberi uang. Kondisi stasiun pun lebih kondusif. Tempat duduk berjajar teratur. Fasilitas “charging” disediakan. Mushola dan toilet pun, bersih dan nyaman digunakan.

Anehnya, perbaikan seperti ini seakan tak menyentuh terminal. Anda yang pernah bahkan sering ke sana, boleh jadi sepakat kalau terminal jauh dari rasa aman. Jangan dululah berbicara kenyamanan, kebersihan saja biasanya jadi masalah abadi terminal yang tak kunjung terselesaikan.

Ini tentu mengundang tanda tanya besar, kenapa terminal terkesan dianaktirikan? Padahal kalau kita amati, selain sebagai titik di mana semua transportasi darat (selain kereta tentunya) bertemu, terminal mewakili denyut nadi ekonomi masyarakat, misalnya buat para perantau yang bekerja di kota-kota besar.  Pun buat para pengemudi itu sendiri, mulai dari sopir angkutan kota, ojeg, hingga becak, yang pencarian nafkahnya bergantung pada terminal. Belum lagi para pedagang, yang berjualan kecil-kecilan seperti rokok dan minuman, sampai ke toko oleh-oleh yang cukup besar. Semua menjadikan terminal sebagai tempat utama mengais rezeki.

Posisi terminal (dan bisnya) pun sejatinya penting. Laporan yang diolah Kompas dari BPS menunjukkan penggunaan bus untuk “pulang kampung” lewat terminail cukup tinggi, yaitu 4,22 juta orang pada musim mudik Lebaran 2018. Lebih tinggi dibanding transportasi laut (1,72 juta orang) tapi kalah telak oleh transportasi udara di angka 5 jutaan penumpang dan kereta api yang mencapai 6,2 juta.

Salah satu penyebabnya, mengutip dari sumber yang sama, semakin membaiknya layanan kereta api, tanpa dibarengi dengan perbaikan yang signifikan terhadap layanan bus, khususnya bus antarkota (Kompas.com, 06/06/2018). Nah kan?

Untunglah ada secercah harapan. Sebab kini Kementerian Perhubungan sudah menetapkan 16 terminal bus tipe A sebagai percontohan dalam mewujudkan pelayanan terminal bus yang bersih, tertib, dan nyaman. Direktur Prasarana Perhubungan Darat Kemenhub Jujun Endah Wahjuningrum mengatakan, ke-16 terminal tipe A itu ialah:

Terminal Tirtonadi, Solo; Giri Adipura, Wonogiri; Bangga Bangun Desa, Cilacap; Terminal Tipa A, Pemalang; Terminal Tipe A Pekalongan; Terminal Ciakar, Sumedang; Sei Ambawang, Pontianak; Sribulan, Sarolangun; Terminal Ir Soekarno, Klaten; Terminal Bawen, Semarang; Terminal Subang; Harjamukti, Cirebon; Arjosari, Malang; Kertonegoro, Ngawi; Terminal Terpadu Merak, Cilegon; dan Terminal Batu Ampar, Balikpapan. Terminal-terminal ini diharapkan menjadi pelopor kebersihan, ketertiban, dan kenyamanan di terminal bus.

Kita juga patut bangga, Indonesia kini sudah punya Pulo Gebang yang merupakan terminal terbesar di Asia Tenggara dan menurut Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Sigit Wijatmoko, terminal ini sudah bebas dari oknum-oknum nakal, seperti calo dan preman. Tapi itu cuma Jakarta. Kota dengan infrastruktur transportasi yang paling lengkap di Indonesia. Yang jika tak ada terminal pun orang masih bisa pakai kereta atau angkutan online.

Dan jangan lupakan pula, keenambelas terminal Tipe A yang disebut di atas pun lebih banyak di Pulau Jawa letaknya. Kalau begini caranya, bagaimana dengan masyarakat yang berada di luar daerah-daerah tersebut – dari Aceh hingga Papua – yang masih menggantungkan diri sepenuhnya kepada terminal tapi terminalnya belum mengalami perbaikan?

****

Ah sungguh beda nasib stasiun kereta dan terminal bus, ya. Yang satu lantainya sudah bersih dan licin. Yang satu lagi masih bau bacin. Mungkinkah ini terjadi karena orang-orang seperti Ignatius Jonan itu memang langka. Atau memang terminal memang sudah dianggap tak penting buat masyarakat. Tapi kita optimis saja. Kalau stasiun bisa, kenapa terminal tak bisa? Tapi kapan? Heuheu


Foto: Kompas


Posting Komentar

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates