Top Menu

Eufemisme dalam Korupsi



KPK memang cukup berhasil menjalankan tugasnya. Oknum-oknum yang menyelewengkan uang rakyat berhasil “diamankan” bahkan beberapa di antaranya tertangkap tangan. Namun, apakah ini sudah cukup untuk membabat budaya korupsi di Indonesia?

Tentu saja tidak. Sebab, korupsi sejatinya tidak hanya terkait tangkap-menangkap dan menciduk lalu mengadili untuk kemudian memenjarakan para tersangka. Lebih dari itu, melawan korupsi berarti juga melawan sebuah budaya penghalusan kata yang mengakar kuat di dalam masyarakat.

Ya, penghalusan kata atau eufemisme dalam bahasa, yaitu gaya bahasa yang menggunakan ungkapan halus untuk mengganti ungkapan kasar yang dianggap tidak menyenangkan orang lain agar tidak menyinggung perasaan.

Contohnya antara lain pelacur atau sundal menjadi pekerja seks komersial. Lalu tukang sampah menjadi petugas kebersihan; miskin sama dengan kurang mampu; babu menjadi pramuwisma. Dipandang dari aspek sosial, eufemisme sangat fungsional karena menjadi fondasi dasar kerukunan dan pergaulan. 

Akan tetapi, dalam konteks korupsi hal ini bisa sangat fatal. Sebab, halus menghaluskan kata saat berada dalam ruang transaksional mengandung bahayanya tersendiri. Untuk menyebut salah satu misal, terkait kata sogok dan suap. Bisa jadi kita semua sudah mengetahui bahwa kedua kata tersebut bermakna negatif. Tapi, apakah pemaknaan kita tetap sama jika keduanya berubah, dihaluskan, menjadi kata-kata berikut ini? 

“Uang terima kasih, uang rokok, uang kopi, amplop, pelicin, tanda terima kasih, pengertian, tau sama tau, dana akomodasi, dana konsumsi, atau oleh-oleh.”

Bisa, ya, tetap sama. Karena bisa jadi kita sudah memiliki pengetahuan memadai tentang kata-kata tersebut. Tapi bisa juga tidak, sebab sebagai sebuah perilaku, pemaknaan kita dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya dan latar belakang kita. Sehingga jika penghalusan kata suap dan sogok sudah diterima sebagai sesuatu yang biasa dilakukan dalam pergaulan dan kehidupan keseharian, akan berakibat menjadikan perilaku koruptif sebagai 'makhluk yang ‘ramah'. Betapa berbahayaya jika hal ini dibiarkan terus menerus terjadi. Bisa-bisa, apa-apa harus pakai cara seperti di bawah: 

Anak ingin masuk sekolah favorit dibutuhkan “amplop”; membantu saudara kerja di instansi pemerintah diperlukan “tanda terima kasih”; jika ingin infrastruktrur yang rusak diperbaiki harus “pengertian” dan “tau sama tau” dan sebagainya.  
Mengerikan bukan? Inilah alasan mengapa untuk melawan korupsi kita tidak bisa hanya mengandalkan KPK. Kita justru harus membantu tugas mereka yang tidak ringan itu dengan mengikis budaya pelaziman atau budaya penghalusan kata korupsi, yang secara laten mewujud dalam perilaku keseharian, dan ironisnya sudah dianggap sebagai hal yang biasa. 

Ilustrasi foto: Firmanyursak.com 

Posting Komentar

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates