Mungkin di antara generasi milenial banyak yang tak familiar dengan Posyandu. Bisa jadi juga kata Posyandu
sering terdengar, tapi banyak yang belum tahu apa itu. Sejenis makanan?
Kendaraan? Merek gawai terbaru? Judul lagu yang lagi hits?
Ya, Posyandu. Akronim
dari Pos Pelayanan Terpadu. Kalau Anda sewaktu kecil yang pernah dapat
bubur kacang, roti, atau makanan sehat lain setelah ditimbang berat badan dan
diimunisasi secara gratis di sebuah balai, nah itu dia, salah satu aktivitas
yang diselenggarakan Posyandu buat warga. Intinya, Posyandu adalah pos
pelayanan kesehatan dasar buat warga.
Namun posisi Posyandu
kini seperti “antara ada dan tiada”. Perannya kurang terdengar sebagai
garda depan pelayanana kesehatan masyarakat Indonesia. Padahal, sejak pertama
dicanangkan tahun 1980-an, Posyandu perannya cukup signifikan, terutama terkait
keberhasilannya menurunkan risiko kematian Ibu dan Anak.
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, setelah Posyandu beropereasi, angka
kematian ibu melahirkan menurun dari 390 kematian per 100.000 kelahiran pada
1990 menjadi 228 kasus pada 2007. Angka kematian bayi pun menurun dari 70
kematian per 1.000 bayi lahir pada 1986, menjadi 34 pada 2007. Demikian pula
angka kematian balita yang menurun dari 69 kematian per 1.000 kelahiran pada
1993 menjadi 44 pada 2007 di seluruh Indonesia.
Lalu zaman berganti.
Masalah yang dihadapi pun kian kompleks. Kematian ibu dan anak tentunya sudah
bukan lagi prioritas Posyandu. Soalnya, tenaga dan infrastruktur kesehatan
sudah cukup lengkap di Indonesia. Dengan mudah kita datang ke dokter apalagi
sudah ada BPJS atau Kartu Indonesia Sehat.
Tak menutup kemungkinan, hal ini berpengaruh terhadap tugas Posyandu. Seperti diberitakan Kompas
(28/05/2018), pergeseran tugas Posyandu agak bergeser, tepatnya bertambah,
tidak hanya terkait pencegahan (preventif) tapi juga pengendalian. Lebih
spesifiknya, Posyandu kini, selain berperan meningkatkan mutu tumbuh kembang Ibu
dan anak, juga dituntut agar bisa mengendalikan stunting atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronis. Tugas yang
berat sekali, ya?
Dan apakah sejauh
ini Posyandu sudah maksimal menjalankan tanggung jawab tersebut?
Sulit menjawabnya.
Butuh kajian komprehensif dan mendalam, yang pastinya tidak akan bisa
tergambarkan dalam tulisan sependek ini. Meski begitu, masih banyaknya kabar
yang beredar terkait malnutrisi dan kurang gizi yang menimpa beberapa daerah
Indonesia, mungkin bisa menjadi indikasi awal bahwa Posyandu belum berperan signifikan.
Tapi menyalahkan
Posyandu sungguh tidak adil. Para relawan Posyandu – dikenal dengan sebutan
kader – adalah warga biasa yang sebagian besar tak punya latar belakang
kesehatan. Sehingga kualitas mereka bergantung seberapa intensif tenaga
kesehatan pendamping mentransfer pengetahuannya.
Selain itu, para
kader sering kali terkendala dengan minimnya prasarana dan anggaran. Terkait
keterbatasan ini, Listyowati, Ketua Kalyanamitra, lembaga pusat komunikasi dan
informasi perempuan yang melakukan audit terhadap program dan layanan Posyadu
pada 2016-2018, mengatakan para kader bahkan tak jarang patungan dan mencari
donatur untuk menyelengarakan layanan kesehatan karena dari pemerintah tidak
ada anggaran khusus.
Dan yang paling
parah, Listyowati menambahkan, para kader pun sangat jarang mendapat pelatihan
kesehatan, bahkan mungkin beberapa di antaranya tidak pernah sama sekali. Masalah ini sangat urgen dan tidak boleh terus dibiarkan karena bagaimana mereka mampu memberikan
penyuluhan kesehatan kepada warga, sementara pengatahuannya tentang kesehatan
cuma apa adanya?
Jangan-jangan
Posyandu sekarang sudah gak dianggap penting kali, ya? Tapi mengingat perannya
yang besar, masa iya sih pemerintah (Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan,
Pemerintah Daerah, Kecamatan, Desa) abai pada Posyandu?
Foto: Kompas/Adhitya Ramadhan
Posting Komentar