Terdengar angker, ya, judulnya?
Macam pakar sastra dan pengamat sosial-ekonomi yang gelisah karena rendahnya minat
baca masyarakat dan kewirausahaan. Hehehe. Tapi tenang, tulisan ini bobotnya gak
berat-berat amat kok. Bisa dinikmati sambil nyeruput kopi, tanpa harus mengernyitkan
dahi.
Begini, kita awali
dulu tulisan dengan fakta-fakta ironis dalam konteks kopi dan literasi Indonesia berikut.
Pertama, tentang kopi. Sebagai salah satu negara penghasil kopi terbesar (urutan empat dunia), ironisnya, masyarakat Indonesia bukanlah peminum kopi terbanyak, yang didominasi negara-negara Skandinavia di lima besar besar. Specialty coffee yang mengharumkan nama Indonesia itu, nyaris tak mungkin dijajakan secara berkeliling.
Soalnya semua pergi. Minggat ke Itali, Turki, Belanda, Amerika Serikat, hingga Jepang. Kalau ada pun, mungkin sudah ada di etalase café-café premium berlabel luar negeri dengan harga yang sudah tidak ramah lagi. Lagi-lagi apa yang kita hasilkan tidak juga kita nikmati! Kita harus menerima kenyataan: ngopi sachet-an teroooos, hufttttt.
"Ekspor kopi Indonesia 450.000 Ton/Tahun.
Ironisnya, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak dapat menikmati kopi-kopi
berkualitas tersebut dengan harga terjangkau." (Sumber: economy.
okezone.com)
Kedua, terkait literasi. Fakta bahwa masyarakat Indonesia memiliki minat baca yang rendah memang
menyesakkan dada. Bayangkan saja, dari 61 negara yang disurvei oleh Central
Connecticut State University pada Maret 2016 dalam studi "Most Littered
Nation In the World", Indonesia terpuruk di urutan 60.
Sebagai bangsa yang
telah melahirkan karya-karya besar macam "Negarakertagama, Sutasoma," hingga ke yang lebih modern seperti "Babad
Tanah Jawi, La Galigo sampai Bumi Manusia," sudah semestinya kita malu
dan gelisah dengan fakta tersebut.
Lalu apa yang bisa
kita lakukan? Menerima dengan
lapang dada kedua fakta miris itu tentu bukanlah solusi. Menyalahkan pemerintah
pun tak bisa dijadikan opsi. Jadi harus bagaimana? Hanya ada satu cara, BERGERAK!
Apa yang dilakukan
oleh Kopi
Kocang dapat menjadi salah satu contoh yang baik. Di tengah hype kafe yang muncul di setiap
sudut kota, yang ironisnya tidak dapat diakses semua kalangan, kopi kocang
justru berkeliling. Terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat, mengajak untuk bersama-sama
menyeruput kopi. Dan bukan kopi sembarangan pula, Kopi Kocang menyediakan jenis "specialty coffee" yang langsung diambil dari para petani kopi.
Kenapa yang
dilakukan Kopi Kocang menarik, menurut saya
pribadi adalah spirit yang dibawanya. Dengan tagline, “Secangkir Kopi Sejuta
Saudara”, Kopi Kocang ingin “membumikan” kopi berkualitas
ekspor ke masyarakat luas. Seperti telah dijelaskan di atas, kebanyakan masyarakat
Indonesia bisa jadi tidak pernah tahu bahkan menikmati specialty coffee yang setiap tahunnya minggat ke luar negeri. Karena
bagaimanapun juga, harus diakui meski menyesakkan dada, sebagian besar budaya
ngopi masyarakat Indonesia adalah budaya ngopi sachet-an. Padahal -- males sebenarnya mengulang-ngulang fakta miris
negeri sendiri -- INDONESIA ADALAH URUTAN 4 PENGHASIL KOPI TERBESAR DI DUNIA.
“Sudah saatnya
masyarakat Indonesia menikmati jenis-jenis kopi berkualitas yang dihasilkan
negerinya sendiri, dengan harga terjangkau,” Begitu kata Agung Puma, sang
founder Kopi
Kocang, saat saya berbicang ringan sambil menyeruput kopi luwak Cisadon
ketika Kopi Kocang sedang “meneror” warga di sekitar Stadion Pakansari,
Cibinong.
“[Kocang] itu kan
akronim dari ‘konco cangkruk’ dari bahasa Jawa yang artinya ‘teman nongkrong’.
Jadi spiritnya Kopi Kocang ini bisa membawa keakraban, antara masyarakat
Indonesia dan kopi yang dihasilkan negeri tercintanya, antara pedagang dan
pembeli, juga pembeli dan pembeli. Tidak
ada formal-formalan di sini, kita
ngopi bareng, ngobrol ngalor ngidul, sharing bebas” Ujar pria yang selalu antusias
ini sumringah.
"Agung Puma, sang founder"
Hal menarik lainnya,
Kopi
Kocang selalu membawa buku-buku yang bebas dibaca oleh para
pelanggannya. Di sinilah semangat tak main-main yang saya apresiasi betul terkait
niat agung dalam merawat literasi. Mendaku sebagai “gila baca”, Agung ingin
menularkan kebiasaan baik ini ke masyarakat.
Dengan cukup fasih
ia bercerita tentang rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Keprihatianannya
terkait Indonesia yang terpuruk di peringkat 60 dari 61 negara di dunia dalam
literasi. Menurutnya, fakta miris seperti ini dimungkinkan terjadi karena tidak
akrabnya masyarakat dengan buku.
“Perpustakaan masih
jadi tempat yang angker bagi banyak orang, toko buku pun bukan pilihan utama
warga untuk berbelanja, dari pada berdiam diri, lebih baik, saya gerak, meski
mungkin skalanya kecil, saya ingin berkontribusi buat merawat literasi
masyarakat Indonesia. Sebab besarnya sebuah bangsa bisa diukur dari sejauh mana tingkat literasinya. Dan ngopi sambil baca itu terbaik, coba aja datang ke Kopi Kocang
kalau gak percaya” Ia terkekeh sambil sedikit berpromosi.
"Buku-buku, selalu menemani Kopi Kocang saat meneror warga"
Jelang akhir obrolan, Agung mengutarakan harapan
terbesarnya. Tanpa kehilangan senyum dan antusiasme, Agung berharap Kopi Kocang dapat memberdayakan
ekonomi rakyat. "Mudah-mudahan Kopi Kocang sustain, berkembang lebih jauh,
dan bisa mengajak banyak orang dengan visi yang sama untuk bekerja bersama
dalam upaya mengenalkan kopi-kopi dari seluruh Indonesia ke masyarakat luas.
Sehingga pada akhirnya, petani-petani kopi juga bisa lebih sejahtera hidupnya
karena kita [Kopi Kocang dan para mitra] akan membelinya
langsung ke mereka, tanpa perantara tengkulak, dengan harga yang manusiawi."
Diskusi ringan
dengan Agung pun berakhir, seiring tegukan terakhir kopi pekat nan nikmat bersamaan dengan matahari
yang mulai meninggi. Tapi tidak untuk Kopi Kocang, tentunya ia tak akan berhenti untuk terus
"meneror" daerah-daerah lain dengan kopi specialty dan literasi ....
_________________________________________________________________________________
Kopi Keliling Konco Cangkruk (Kocang)
Website : kopikocang.com
Instagram : @kopikocang
Twitter : @kopikocang
Posting Komentar