Selama ini cerita-cerita si Kabayan
identik dengan kebodohan, jorok, kampungan, hingga kemalasan. Stereotip ini barangkali
muncul akibat pengaruh media
audio-visual yang diwakili televisi dan film, dibanding mengenai Si Kabayan sebagai
cerita rakyat yang menjadi bagian dari lokalitas masyarakat Sunda. Masyarakat terlanjur
mengenal Kabayan melalui sosok Kang Ibing yang pemalas dan dan tukang tidur (dalam
film Si Kabayan), atau dari sosok
Kabayan yang diperankan oleh Didi Petet yang kampungan, polos, dan lugu (dalam
film si Kabayan dan Gadis Kota). Juga
yang paling baru, dari sosok Jamie Aditnya yang tidak jauh berbeda dengan
keduanya, tetapi dikemas sedikit lebih gaul (dalam film Kabayan Jadi Milyuner). Sebenarnya, jika ditelusuri lebih dalam,
cerita-cerita si Kabayan menyimpan pesan-pesan tentang kebajikan yang mendalam.
Paradoks
si Kabayan
Cerita-cerita Kabayan merupakan tradisi
lisan masyarakat Sunda-Banten yang didokumentasikan pertama kali oleh Snouck
Hurgronye. Dari 121 cerita Kabayan yang dikoleksi oleh Islamolog berkebangsaan Belanda itu, 80
di antaranya ditelaah oleh Lina Maria Coster-Wijsman dalam disertasi berjudul
“Uilespiegel Verhalen in Indonesie in het Biezonder in de Soendalanden”
(Leiden: 1929). Menurut Maria Coster Wijsman (via Jacob Soemardjo) cerita Kabayan
didominasi oleh cerita jorok, dalam bahasa sunda cawokah atau jorang, dengan
fungsi utama sebagai hiburan yang dipengaruhi mentalitas masyarakat Sunda yang
intuitif, sekaligus santai namun serius.
Namun, ada satu aspek
yang terlupakan dari tesis Maria Coster-Wijsman, yaitu terlewatinya penelaahan
tentang hubungan antara cerita Kabayan dan relijiusitas masyarakat Sunda yang
dikenal kental. Ruang kosong inilah yang hendak diisi oleh Jakob Sumardjo dalam
Paradoks Cerita-cerita si Kabayan.
Dalam buku ini ia bagai mengupas lapis demi lapis cerita-cerita si
Kabayan, dari lapisan yang paling luar, tengah, hingga mencapai lapisan esensi
atau inti makna. Setelah berhasil mencapai esensi, penulis menyimpulkan bahwa
cerita-cerita si Kabayan bersifat paradoks, lain dari yang lain, unik, sehingga
cenderung masuk ke dalam tataran esoterik.
Dalam konteks ilmu
sastra, paradoks cerita si Kabayan berkisar pada selalu adanya situasi
berlawanan dalam karakter si Kabayan; si Kabayan bodoh sekaligus cerdas, si
Kabayan jorok sekaligus bijak, si Kabayan jahat tetapi juga baik. Selanjutnya,
karakter yang berlawanan itu membentuk suatu sistem yang menguatkan makna
cerita. Simaklah penggalan cerita berikut ini:
Suatu hari si Kabayan
diminta tolong mertuanya memetik buah nangka. Mertuanya menyuruh memetik nangka
yang sudah tua. Kabayan yang sedang enak-enak tidur dengan terpaksa menuruti
perintah tersebut. Berangkatlah ia memetik nangka, singkat cerita, ia sudah
mendapatkan nangka lalu bergegas pulang. Akan tetapi, betapa heran mertuanya
ketika pulang ternyata Kabayan tidak membawa apa-apa. Mertuanya jengkel dan
bertanya:
“Mana
nangkanya Kabayan?”
Kabayan keheranan, balik bertanya, “Belum datang?”
“Belum
datang bagaimana?” Mertuanya lebih
heran.
“Dia
saya suruh duluan karena saya suruh cuci kaki”
“Duluan
bagaimana?” Mertuanya jengkel
“Dia
kan nangka yang sudah tua pak, masa tidak tahu jalan ke rumah ini?”
…………Dengan perasaan sangat jengkel
mertuanya mengambil nangka itu sendiri dan si Kabayan kembali tidur.
Perkataan dan perbuatan
yang polos serta bodoh dalam cerita si Kabayan tersebut memunculkan hal yang
paradoks. Di satu sisi, Kabayan patuh dengan melaksanakan perintah mertuanya
memetik nangka, tetapi di sisi lain, ia menolak dengan tidak membawa nangka
yang dipetiknya. Bahkan, lebih jauh lagi si Kabayan secara tidak langsung
menyuruh mertuanya supaya mengambil nangka sendiri melalui perkataan “Dia kan
nangka yang sudah tua pak, masa tidak tahu ke jalan rumah ini.”
Inti dari cerita sesungguhnya berkisar pada
perlawanan terhadap otoritas dan kesewenang-wenangan (hal 55). Kabayan mencoba
melawan mertuanya yang telah mengganggu tidur siangnya dengan “kebodohan”.
Mengapa harus meminta bantuan orang lain jika kita sendiri pun masih bisa
melakukannya? Tidak hanya sampai di situ, kata “tua” dalam kalimat itu juga
memiliki makna turunan kematangan, dan bisa diartikan bahwa sesuatu yang sudah
matang sudah semestinya bisa berdiri di atas kaki sendiri.
Sementara itu, esoterisme
muncul dari struktur cerita yang agak mengesampingkan karakter si Kabayan. Pada
tataran ini si Kabayan seakan memberikan contoh tingkah laku ke manusia (awam)
tapi ironisnya tingkah laku tersebut tidak bisa dimengerti oleh mereka. Coba simak penggalan cerita Kabayan
berikut ini:
Si Kabayan sedang menggali lobang,
datang Ki Silah Lewat.
“Kabayan,
buat apa kamu gali lobang?”
“Buat
tanam pohon pisang.”
“Buat
apa tanam pohon pisang?”
“Buat
dimakan buahnya!”
“Buat
apa makan buahnya?”
“Buat
dapat tenaga.”
“Buat
apa tenaga?”
“Buat
gali lobang”
(“Si Kabayan Menanam Pohon Pisang”)
Sekilas cerita di atas
tidak bermakna apa-apa, bahkan hanya perbuatan bodoh yang dilakukan si Kabayan.
Namun, jika ditelaah menggunakan pendekatan hermeneutik dan sastrawi, cerita
tersebut mengandung makna begitu dalam. Cerita ini bisa dikatakan merujuk ke
dunia referensial, berupa respons terhadap kesia-siaan hidup, kritik terhadap
sebuah siklus yang dialami manusia dalam kehidupannya, atau kebosanan yang diakibatkan
pencarian tanpa akhir terhadap keduniawian. Secara linier bisa disejajarkan
dengan rutinitas yang kita jalani; mengonsumsi makanan bergizi setiap hari
supaya mendapatkan tenaga untuk bekerja dan hasil dari bekerja, ya, buat makan
lagi. Begitu seterusnya hingga kita bosan untuk merasa sehingga tidak merasakan
apa-apa lagi selain pasrah dengan keadaan dan menjalankan hidup apa adanya.
Apa yang ingin
disampaikan cerita ini memiliki universum sangat luas, yaitu hendak
memperingatkan bahwa dalam hidup kita juga harus memenuhi sisi
ruhaniah, tidak hanya bergelut untuk memenuhi kebutuhan ragawi (hlm. 25). Di
sini esoterisme tersembunyi dalam karakter si Kabayan yang bodoh dan hanya
dapat diteroka dengan cara memahami struktur cerita.
Bagian
dari Tradisi Tasawuf?
Ada satu hal paling menarik dari buku
ini, yaitu adanya sebuah upaya untuk menghubungkan cerita-cerita si Kabayan
dengan tradisi tasawuf. Lebih jauh, secara tak langsung dan implisit, penulis hendak
menegaskan bahwa cerita-cerita si Kabayan merupakan salah satu media penyebaran
Islam di Jawa Barat. Fakta-fakta yang dijadikan pijakan untuk mendukung upaya
itu di antaranya: cerita-cerita si Kabayan dikenal di seluruh pedesaan Jawa
Barat yang memiliki relijiusitas agama (Islam) kental, kemudian kadar
intelektualitas yang tinggi dalam cerita-ceritanya, selanjutnya fakta bahwa
cerita-cerita ini didokumentasikan seorang Islamolog paling terkemuka pada
masanya (Snouck Horgronye) yang bekerja sama dengan seorang sufi besar Sunda
(Haji Hassan Mustofa), serta adanya kemiripan karakter dan cerita si Kabayan
dengan cerita sufistik Abu Nawas.
Di samping itu semua, penulis
juga menyitir fakta historis yang sudah diterima menjadi teori sejarah
penyebaran Islam di Indonesia, yaitu Islam yang menyebar di Indonesia adalah
Islam mistis dari tradisi India-Persia, sehingga bisa diterima oleh masyarakat
yang awalnya sudah memiliki tradisi mapan Hindu-Buddha. Tidak terkecuali di
dalam masyarakat Sunda yang mewarisi kebudayaan Kerajaan Hindu Pajajaran. Kesimpulannya,
penulis menyatakan bahwa cerita si Kabayan bukanlah cerita yang berasal dari
rakyat kebanyakan, melainkan cerita yang diciptakan oleh para intelektual yang
mengerti seluk beluk mistis dan Islam.
(Tulisan ini adalah resensi buku karya Jakob Sumardjo, Paradoks Cerita-cerita si Kabayan (Yrama Widya; 2015) yang dipublikasikan di Harian Kompas, Minggu 25 Januari 2015 dan Warta Kota oleh penulis yang sama: Iqbal Awal)
Posting Komentar