Korupsi yang
selama ini diketahui publik, mungkin berkisar pada penggelapan uang rakyat
dengan jumlah bombastis yang melibatkan oknum-oknum pejabat dan pengusaha
besar. Kalau Anda termasuk yang punya pemikiran kayak begitu, revisi sekarang
juga!
Soalnya,
korupsi itu bisa terjadi di mana pun dan kapan pun, dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, meski hanya melibatkan uang dalam jumlah kecil. Anda yang sering mengendarai
kendaraan bermotor tentu paham dan cukup familiar dengan kata-kata “sidang di
tempat” atau “damai”, bukan?
Ya,
istilah tersebut kerap kali digunakan oleh oknum, baik yang kena tilang maupun
yang menilang (baca: polisi) saat terjadi pelanggaran lalu lintas – oleh
pengendara. Kalau mengikuti prosedur yang benar, ya, pengendara mendapat surat
tilang, lalu mengikuti sidang dan membayar sejumlah denda kepada negara. Ingat
ya, kepada negara lewat pengadilan.
Tapi yang
terjadi justru sebaliknya: yang kena tilang biasanya “berdamai” dengan penilang
saat itu juga. Syarat damainya tentu saja dengan menyerahkan sejumlah uang. Tak sampai jutaan sih apalagi miliaran. Cukup dengan nominal ratusan ribu seringnya bahkan puluhan ribu, perkara selesai. Sama-sama enak. Yang tertilang bisa
melanjutkan perjalanan, cuuuuussss. Si penilang dapat uang tambahan. Masooookkk.
Korupsi
kecil-kecilan seperti ini, ironisnya, sudah dianggap lumrah oleh masyarakat
kita. Kecil sih nominalnya, tapi kalau yang melakukan setengahnya saja masyarakat
Indonesia (130 an juta jiwa kali 50.000-100.000), sudah berapa tuh uang yang
keluar buat "damai"… Hadeuh uang segitu bisa bikin infrastruktur dari Sabang sampai Merauke kali.
Namun
sekarang, ada secercah harapan dan angin segar nih buat mengatasi sengkarut ini. Soalnya, Direktorat
Lalu Lintas Polda Metro Jaya bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah melakukan
ujicoba sistem tilang elektronik (E-Tilang) atau Electronic Traffic Law
Enforcement (E-TLE) sejak 1 Oktober 2018 di Jakarta.
Buat pembaca
budiman yang mungkin belum tahu, tilang elektronik merupakan metode tilang
berbasis teknologi dengan memanfaatkan kamera canggih yang mampu mencari secara
otomatis kendaraan yang melanggar marka jalan, melanggar lampu merah, tidak
memakai sabuk pengaman, memakai ponsel saat mengemudi, dan sebagainya.
Kamera
tersebut kemudian akan memotret plat nomor kendaraan dan secara otomatis
mengindentifikasi pemilik kendaraan. Selanjutnya, surat tilang akan dikirim ke
alamat pemilik kendaraan (email & aplikasi) secara otomatis. Dan jika
pemilik kendaraan tidak membayar denda melalui bank, STNK akan diblokir. STNK
yang terblokir bisa diaktifkan kembali kalau si pengendara sudah membayar (" Mimpi Menghapus Pungutan di Jalanan", Kompas, 17/09/2018).
Meski
bukan terobosan yang baru-baru amat, Malaysia sudah menerapkannya sejak tahun 2012,
langkah Kepolisian ini patut kita apresiasi bersama. Sebab di negeri Jiran tersebut, penerapan tilang elektronik yang memanfaatkan kecanggihan kamera terbukti
moncer.
"CCTV, senjata utama tilang elektronik". Foto: Kompas.com
Hasil
sigi Hawa Mohammed Jamil, Akmalia Shabadin, dan Sharifah Allyana Syed Mohamed
Rahim dari Malaysia Institute of Road Safety Research (2014) yang dikutip Tirto membuktikan bahwa kamera pengintai
di sejumlah ruas-ruas jalan di Malaysia, antara lain di Jalan Ipoh Kuala
Lumpur, Jalan Klang Lama Selangor, Jalan Siput, dan Jalan Pasir Putih mampu
mengurangi pengendara yang menerobos lampu merah. Di Singapura bahkan, dilansir
oleh Today Online, sejak tilang
elektronik berbasis kamera pengawas diberlakukan pada 2015, dalam tiga bulan
pertama dari Maret-Juni jumlah pelanggar lalu lintas menurun 83,5% di negeri
yang merupakan salah satu surga belanja ini.
Berkaca
dari pengalaman dua negara tetangga kita tercinta itu, kalau diberlakukan menyeluruh
di Indonesia, efek positif tilang elektronik bahkan bisa lebih dahsyat lagi. Karena
selain bisa membuat budaya berlalu lintas masyarakat lebih tertib, juga
berpotensi memutus budaya korupsi jalanan.
Seperti
telah dijelaskan di atas, korupsi atau suap menyuap atau pungli di jalanan
dimungkinkan terjadi akibat adanya celah transaksional antara si tertilang dan
si penilang untuk “berdamai”. Nah, oleh tilang elektronik, praktik ini bisa
diputus karena pembayaran denda langsung masuk otomatis ke dalam sistem. Dilakukan
langsung oleh yang tertilang dengan cara transfer bank, tidak lagi membutuhkan
perantara polisi.
Selain
itu, tilang eletronik pun membuat semua lebih praktis, di mana pemilik
kendaraan tidak lagi perlu mengikuti persidangan yang sering kali memakan
banyak waktu. Cukup bayar denda lewat mobile
banking, STNK pun aktif kembali. Praktis kan bosque.
Ayo, Pak
Polisi wujudkan secara menyeluruh tilang elektronik. Jangan pilih kasih, jangan
di Jakarta doang. Tapi terapkan di
seluruh kota di Indonesia. Putus rantai-rantai korupsi oknum-oknum Anda dengan
langkah nyata. Bukan sekadar wacana. Dan teruslah berupaya tertibkan budaya
masyarakat Indonesia dalam berkendara. Sepakat, dong. Sepakat ya, ya, ya.
Foto muka: Tirto.id
Posting Komentar