Top Menu

Sekilas Polemik Ormas



Ormas, akrab di telinga, tapi kurang akrab dalam makna. Dan semakin nyaring terdengar baru-baru ini akibat beberapa oknum Banser – sayap ormas Nahdlatul Ulama – membakar bendera yang diduga milik HTI. Ormas terlarang yang anti-Pancasila dan ingin mengganti demokrasi dengan sistem kekhalifahan. Kegaduhan terjadi. Masyarakat Indonesia seakan terbelah menjadi hanya pro dan kontra Banser.

Yang satu bilang itu bendera HTI. Yang lain menyangkal. “Itu adalah bendera tauhid”. Banser dianggap menghina Islam karena pembakaran dilakukan sambil bernyanyi dan bergembira. Polemik akhirnya selesai. Banser meminta maaf dan berjanji tak akan menjadi pemicu kegaduhan lagi. Di lain sisi bendera yang dibakar pun terbukti merupakan lambang HTI.

Meski polemik sudah mereda. Peristiwa ini seakan menegaskan bahwa Indonesia sangat rentan dengan konflik horizontal yang melibatkan ormas. Sebab selain Banser yang kisruh dengan HTI, beberapa waktu lalu kisruh terjadi antara FPI vs GMBI, Pemuda Pancasila dan FBR, hingga Pemuda Pancasila dan GIBAS.

Kalau nyata-nyatanya Ormas kurang berfaedah dan cenderung meresahkan seperti itu, kenapa tak dibubarkan saja?

Pertanyaan tersebut bisa jadi menganggu banyak pikiran kita, dan bisa jadi, banyak yang setuju kalau ormas dibubarkan saja dari bumi Indonesia. Namun tunggu dulu. Menggeneralisir bahwa semua ormas itu meresahkan bukan saja tidak adil. Lebih dari itu menenggelamkan “jasa-jasa baik” ormas itu sendiri. Coba lihat Nahdlatul Ulama (NU) sebagai contoh. Salah satu ormas tertua ini punya sejarah panjang dan jasanya untuk Indonesia sungguh tak terbilang. Mulai dari menyemai nasionalisme, perjuangan melawan penjajah, hingga penyelenggaraan aktivitas-aktivitas sosial dan dakwah.

Pun jangan lupakan Muhammadiah. Ormas yang lebih tua dari NU ini aktif membangun sekolah, rumah sakit, dan perjuangan dalam meraih kemerdekaan. Kedunya adalah dua dari sekian banyak contoh ormas-ormas yang punya penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hingga saat ini.

Peran ormas sebelum kemerdekaan pun tak bisa dianggap remeh. Karena kalau merujuk ke pengertiannya yang paling dasar bahwa ormas merupakan wadah berkumpul, berserikat, dan berorganisasi dalam tujuan bersama para anggota, tumbuhnya kesadaran nasionalisme Indonesia, salah satunya ditandai juga oleh lahirnya “ormas-ormas” pergerakan, seperti Budi Utomo, Sarikat Islam, Taman Siswa dan Indische Partij

Jangan pula dilupakan, bisa jadi inilah yang paling esensial, mendirikan ormas itu dijamin oleh konstitusi. Dengan kata lain, ormas punya payung hukum yang jelas karena diatur melalui UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan menandakan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul.

Terkait kegaduhan dan keresahan yang melibatkan ormas, yakinlah itu hanya disebabkan oleh oknum-oknum. Tujuan dibentuknya ormas tentulah baik, dengan catatan memang ormas tersebut sudah punya izin dan tercatat di Kementerian Dalam Negeri. Namun, ironisnya hal ini memunculkan pertanyaan lain: Sejauh mana pemerintah berperan dalam pembinaan ormas-ormas yang meresahkan bahkan menjurus ke radikalisme?

Sebab punya izin dan tercatat sebagai organisasi resmi ternyata tidak menjamin ormas bersih dari oknum-oknum. FPI, Banser Pemuda Pancasila, Laskar Merah Putih, GIBAS, Forum Betawi Rembug, Laskar Bali, untuk menyebut sejumlah nama, bukanlah ormas baru yang tak berizin. Semuanya adalah “pemain lama” yang telah bersejajaran dalam kehidupan bermasyarakat kita.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perpu Ormas) bisa jadi adalah respons pemerintah untuk membina ormas. Tidak seperti anggapan mereka-mereka yang skeptis, penerbitan Perpu ini bukanlah ancaman terhadap demokrasi. Justru sebaliknya; dilecut oleh terbuktinya HTI sebagai ormas yang anti Pancasila dan ingin mengganti sistem demokrasi dengan kekhalifahan, Perpu Ormas disahkan agar ormas di Indonesia berada di jalan yang benar, antara lain memberikan pelayanan dan pemberdayaan kepada masyarakat; menjaga, memelihara, dan memperkuat, persatuan dan kesatuan bangsa; mewujudkan negara; dan pemenuhan pelayanan sosial.

Bukan sebaliknya, membuat gaduh dan keresahan sosial yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal.

Namun pengawasan melalui UU kiranya perlu dilengkapi partisipasi aktif masyarakat dan kesigapan aparat penegak hukum.  Karena kalau ditelusuri lebih jauh, keresahan yang ditimbulkan ormas tidak hanya menyangkut konflik antar mereka sendiri. Bahkan lebih jauh menjurus ke tindakan kriminal yang melibatkan masyarakat. Ada beberapa kasus ditemukan misalnya, oknum-oknum ormas diduga melakukan pungli kepada warga dengan dalih keamanan, izin usaha, hingga minta THR jelang Idul Fitri dengan pemaksaan dan intimidasi. Dengan Perpu Ormas yang sudah disahkan tersebut, masyarakat tak usah takut lagi untuk melaporkan kalau ada oknum ormas yang melanggar hukum. 

Foto: Republika.co.id/Agung Supriyanto

Posting Komentar

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates