Dermaga Tanjung Luar, Lombok, NTB.
Tidak ada yang bisa memungkiri keindahan Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Pantai berpasir putih, air laut yang jernih, berpadu
dengan gili-gili (pulau
kecil) dan keragaman biota lautnya, membuat siapa pun akan betah berlama-lama
di sini.
Perasaan seperti itu benar-benar saya rasakan saat ikut trip
bersama teman ke Lombok Timur, tepatnya daerah Tanjung Luar beberapa waktu yang
lalu. Saya dibuat takjub dengan keindahan Pulau Pasir, Pantai Tangsi atau
Pantai Pink dan kehidupan nelayan di sana.
Pantai Tangsi atau Pantai Pink
Namun ada sesuatu yang sedikit mengganggu saya saat
berkunjung ke Pelabuhan Tanjung Luar yang memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
terbesar di Lombok.
Di balik keramahan masyarakatnya yang sebagian besar
berprofesi nelayan dan penjual hasil laut, menurut berita-berita portal luar
negeri ternyata di sini, selain menyediakan berbagai hasil laut, juga
memperjualbelikan ikan hiu dan pari manta secara ilegal. Selain itu, saya juga
sempat membaca tulisan yang bagus sekali dari Erni
Aladjai berjudul "Ikan-ikan
Hiu dan Nelayan Tanjung Luar" yang berkisah tentang dinamika
kehidupan nelayan yang menjadikan hiu sebagai tangkapan utamanya. Di tulisan ini dijelaskan betapa seluruh
masyarakat Tanjung Luar tidak bisa dilepaskan dari hiu; hidup dan kaya dari
hiu, bahkan makan pun sate hiu juga kerupuk kulit hiu menjadi oleh-oleh khas
daerah.
Karena itu, ketika saya sudah berada di sini, saya tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan ini. Saya ingin membuktikan sendiri berita-berita dan
tulisan yang sudah saya baca itu. Apakah benar ada banyak hiu yang
diperjualbelikan bebas di Tanjung Luar?
Dan ternyata memang benar. Hiu dan pari manta dijual bebas
di TPI Tanjung luar. Sama halnya dengan udang, kepiting, kerang, tiram, cumi,
tongkol, tenggiri, gurita, baronang, tongkol, dan hasil laut lainnya. Dijajakan
oleh nelayan, ditawar oleh pengepul, dan siapa pun boleh membeli asal harganya
cocok.
Tidak ada tanda-tanda keanehan saat saya menyaksikan
langsung jual beli hasil laut termasuk hiu di Tanjung Luar selain harga hiu
yang memang jauh lebih mahal. Satu harga hiu dewasa, menurut seorang nelayan
yang tak mau disebutkan namanya, berkisar 3-5 juta. Itu pun harus dari jenis
hiu botol yang punya hati besar. Pasalnya hati hiu merupakan bahan utama
pembuat minyak hiu yang sangat digemari di Jepang, Korea, dan Tiongkok.
Sayang saya tidak mendapat informasi berapa harga hiu bukan
botol dan seperti apa hiu botol itu karena nara sumber tadi langsung izin pergi
untuk kembali menurunkan ikan.
Ilegal atau tidak, jujur saya tidak tahu menahu parameternya
seperti apa. Apakah mereka, para nelayan itu menggunakan cara yang tak lazim
saat berburu hiu. Atau apakah hiu-hiu tersebut diperjualbelikan di pasar gelap.
Ataukah mereka memukul rata, dalam arti menangkap juga hiu-hiu yang dilindungi
untuk dijual. Saya tidak tahu.
Mengenai hal ini, hiu-hiu yang dilindungi, sepengetahuan
saya (mohon dikoreksi kalau salah), berdasarkan rilis World Wildlife Fund for Nature Indonesia (16/09/2014)
antara lain, hiu koboy, hiu martil, dan hiu paus beserta ikan pari mata. Saya pun tak sempat mengkonfirmasi jenis hiu apa saja yang
dijajakan di TPI Tanjung Luar tersebut. Apakah termasuk hiu yang dilindungi
atau bukan.
Foto yang diambil teman saya ini bisa dijadikan referensi.
Mungkin di antara para pembaca ada yang tahu, termasuk jenis apa hiu berikut.
Namun, seperti yang telah disinggung di paragraf awal, ada
satu hal mengganggu di TPI ini. Tak lain dan tak bukan hal ini disebabkan
banyaknya hiu kecil yang tergeletak, sudah mati, dan juga
diperjualbelikan.
Tiba-tiba saya jadi sentimentil, berpikir bahwa masa depan
mereka masih panjang, kok udah
mati aja sih. Saya merasa sedih karena bayi-bayi hiu ini, mungkin penerus dari
ibu-bapaknya yang telah ditangkap duluan. Merekalah ujung tombak regenerasi
bangsa hiu di Indonesia.
Ini intinya yang sangat menganggu saya di TPI Tanjung Luar.
Menurut DFW-INDONESIA, Ikan hiu
sekali setahun bereproduksi dengan jumlah anak hiu yang berkisar pada jumlah
12-41 ekor. Coba dibayangkan kalau mereka sudah ditangkap sedari kecil,
sampai kapan keberadaan hiu bisa bertahan di laut Indonesia?
Berikut hiu-hiu kecil yang dijajakan di TPI Tanjung
Luar.
Bayi-bayi hiu yang dijual bebas
Tentunya hal ini harus menjadi perhatian pemerintah dan LSM
yang bergerak di bidang terkait, untuk mencari solusi agar meminimalisasi
bahkan menghilangkan sama sekali, penangkapan hiu-hiu kecil itu. Karena kalau
dibiarkan terus menerus terjadi, kerugian akan menimpa semua pihak. Populasi
hiu berkurang kemudian punah, nelayan pun kehilangan mata pencaharian.
Sementara itu, Indonesia juga akan kehilangan salah satu kekayaan lautnya yang
paling berharga.
Akhir kata, perjalanan di Tanjung Luar tetap sangat
mengesankan. Nusa Tenggara Barat ibarat taman firdaus yang ada di dunia. Tak
berlebihan kiranya jika Lombok, Nusa Tenggara Barat, dapat dianggap merupakan
salah satu anugerah Tuhan bagi bangsa Indonesia yang patut disyukuri. Karena
itu, sudah seharusnya selain kita nikmati keindahannya, kita juga harus menjaga
kelestariannya.
Foto-foto: koleksi pribadi @anakdolan
(Tulisan telah dipublikasikan sebelumnya di Kompasiana, 20 Oktober 2017, oleh penulis yang sama)
(Tulisan telah dipublikasikan sebelumnya di Kompasiana, 20 Oktober 2017, oleh penulis yang sama)
Posting Komentar