Top Menu

Our Little Sister (2015), Pemberontakan Subtil Terhadap Dominasi Laki-laki dan Konsep Keluarga


Seorang ayah meninggal, ketiga anaknya melayat dalam busana hitam-hitam di sebuah upacara kematian ala Jepang. Sebuah peristiwa yang sebenarnya bisa menimpa siapa pun, di belahan dunia mana pun. Tidak ada yang istimewa.

Namun menjadi menarik kiranya, kalau ketiga anak tersebut ternyata ditelantarkan oleh sang ayah semasa hidup karena ia menikah lagi dan memilih tinggal bersama istri barunya. Lebih-lebih lagi, mendiang juga mewariskan seorang anak yang pada saat kremasi secara "tak sengaja" bertemu dengan ketiganya.

Bagaimana interaksi antara keempat anak berbeda ibu itu selanjutnya?

Inilah yang menjadi plot awal film berjudul Inggris Our Little Sister atau Umimachi Diary (2015) garapan Hirokazu Kore-eda.

Buat kamu yang mengharapkan terjadinya ketegangan interaksi antar anak asli dan tiri pasti kecewa. Buat kamu yang juga suka saling tikung antarsaudara untuk mendapatkan harta warisan keluarga, jangan berharap banyak. Memangnya ini sinetron Indonesia yang ngomong aja lewat hati dan benak, plus mimik mukanya dijahat-jahatkan? 

Di film yang dibintangi oleh empat aktris jelita Suzu Hirose, Kaho, Masami Nagashawa, dan Haruka Ayase ini nyaris tidak ada melankolia apalagi drama yang menguras air mata.

Ini adalah film kontemplatif. Beralur lambat, iya. Tanpa ketegangan, gak salah. Tidak ada juga dinamika konflik yang mencapai klimaks, ya bisa juga dibilang begitu. Jadi tinggalkan saja kalau kamu seorang yang tidak sabaran, dan sukanya disuguhi film yang bikin dag dig dug.

Akan tetapi, kalau kamu suka film realis yang menggambarkan kehidupan sehari-hari, dengan percakapan natural, maka film ini layak sekali jadi pilihan. Bukan yang terbaik sih tapi tetap istimewa.

  
****

Berpusat pada kehidupan kakak-beradik perempuan setelah kematian sang ayah yang digambarkan sangat ideal. Semua berperangai baik, berhubungan dengan tetangga baik, dan karir pun baik. Saudari tertua Sachi merupakan perawat yang sedang dipromosikan.

Saudari kedua, Yoshino, teller sebuah bank. Saudari ketiga Chika bekeja di toko olahraga sedangkan si bungsu, Suzu, masih berstatus pelajar dan merupakan bintang sepakbola di sekolahnya.

Sekilas di permukaan seakan tak ada masalah. Saling dukung terjadi satu sama lain kalau salah satu mendapat kesulitan. Seperti saat Yoshino baru diputuskan pacarnya semua datang menghibur. Atau saat Suzu kelelahan setelah bermain bola dan minum umeshu (minuman keras dari buah plum) untuk pertama kalinya, semua membopong.

Candaan-candaan kecil nan manis kadang juga saling memaki yang kerap terjadi saat mereka makan bersama, membuat film itu terasa sangat familiar buat kita semua yang punya banyak saudara. 

Akan tetapi, di balik itu masing-masing ternyata punya masalah; Sachi ternyata selingkuhan seorang dokter (atasannya) yang sudah beristri; Yoshino doyan gonta-ganti pacar dan tak pernah berhasil dalam hubungan. Si bungsu, Suzu sangat rapuh karena menyimpan perasaan tak enak. Alasannya, malu punya ibu yang berandil besar menghancurkan sebuah keluarga tapi semesta mengarahkannya  tinggal bersama mereka.

Saya pikir salah satu kekuatan dari film ini adalah pesan yang disampaikan secara subtil tapi begitu mengena. Ada pemberontakan keras terhadap tradisi, mungkin tepanya terhadap dominasi laki-laki atau bisa jadi terhadap konsep keluarga.

Terutama dalam adegan saat Sachi diperingatkan oleh bibinya terkait langkahnya untuk mengadopsi Suzu yang bisa membuatnya sulit menikah. Namun ia bergeming, meski dengan ekspresi cukup getir. Dengan mantap ia pun lebih memilih Suzu dan adik-adiknya, bahkan ketika kekasihnya mengajak pergi ke Amerika untuk hidup bersama. Ia menolak! 

Sangat jelas, ia menghindari menjadi seseorang yang pernah ia benci.  Wanita perusak rumah tangga yang merenggut kebahagiaan keluarganya. Dan di lain sisi, ia ingin membuktikan bahwa hidup tak perlu bergantung pada siapa pun. Pemberontakan wanita Jepang yang begitu lama terkungkung dalam patriarki? Hal yang sejatinya sudah ia lakukan belasan tahun dengan menjadi “ibu kos” untuk adik-adiknya.

Sosok Yoshino, berbeda dengan Sachi yang terkesan kuno dan serius. Ia seorang yang stylish, dan mengesankan wanita karir Jepang modern. Ironisnya, perlawanannya terhadap dominasi laki-lakinya gagal karena jalan yang ia pilih bisa dikatakan keliru: Selalu memanjakan pacarnya dari membayarkan tagihan makanan, membelikan pakaian terbaru hingga memberikan pinjaman uang yang tak perlu dibayar. Namun saat diputuskan ia tak bisa apa-apa, pasrah. Untuk menghibur diri, tak ada jalan lain selain mabuk-mabukan.

Ini bukti bahwa untuk melawan terhadap sistem yang menindas, cover yang mentereng itu tak cukup. Hanya karena you berpenampilan keren, bisa cas cis cus dengan istilah-istilah canggih serta keminggris, sudah layak mendaku aktivis dan terpelajar atau SJW? Tidak semudah itu, Pelguso. 
   
Suzu membawa pesan yang tak jauh berbeda. Ia dengan mantap memilih eskur sepakbola. Dan perlu kamu tahu, bukan di tim perempuan, ya, melainkan main bareng laki-laki. Di mana di dunia ini perempuan di sebuah tim sepakbola main di tim laki-laki? 

Hanya Chika yang paling “normal”. Ia seperti diposisikan sebagai penengah dan seseorang yang tak ambil pusing terhadap apa pun. Bahasa tubuhnya pun lucu dengan dandanan tomboy dan sporty.  

Sudah? Masih panjang kalau sudah dijabarkan di sini. Namun kesan terakhir yang saya dapatkan setelah menonton film ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan tentang konsep keluarga; Bahwa untuk menjadi sebuah keluarga, apakah harus selalu melewati tahap pernikahan? Apakah adanya hubungan suami dan istri beserta anak itu otomatis bisa disebut keluarga?

Dan apakah peran ayah dan ibu itu selalu harus terpisah? Bagaimana dengan Sachi yang notabene seorang perempuan tapi sejak umur 15 sudah harus merawat adik-adiknya akibat ayahnya yang selingkuh dan ibunya yang pergi begitu saja kemudian memilih hidup melajang? Bukankah di posisi ini ia bisa dianggap sudah memainkan peran ayah sekaligus ibu untuk "anak-anaknya”? Buat apa ayah yang bangsat dan ibu yang bedebah, kalau menjalankan peran keduanya dapat kita lakukan sendiri?

Lho kok rada melenceng dari pemberontakan perempuan terhadap dominasi tadi? Bukannya melenceng tapi film yang pernah tayang di Cannes ini memang berdimensi luas. Meski sekilas, ia juga membahas lansia-lansia di Jepang yang kesepian, mahalnya biaya kematian, perceraian, dan penelantaran anak. Intinya, mending tonton sendiri deh biar gak penasaran. Hehehe




Posting Komentar

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates