image: www.thefilteredlens.com
Kalau kawan-kawan pecinta thriller atau horor yang
penuh adegan jump scare beralur cepat dengan ketegangan yang biasanya muncul
tiba-tiba, segera tinggalkan film ini. Atau kalau Anda tidak punya kesabaran
ekstra untuk mengikuti setiap adegan dan dialog, langsung saja pindah ke film
kelas B yang melulu menghadirkan aksi tapi minim substansi.
Namun kalau kawan-kawan sudah bosan dengan itu semua
dan mau bersabar untuk menikmati pengalaman sinematik yang berbeda, Midsommar
bisa menjadi pilihan utama. Ya, film ini ibarat mengajak Anda semua untuk naik
gunung, yang jika ingin mencapai klimaks, maka kita harus – mau tak mau –
mencapai puncaknya. Dan mudah sekali dijawab perasaan seperti apa yang bisa timbul
saat kita berhasil sampai di sana, bukan?
Karena itu, saya tidak akan memuji-muji Midsommar di
sini. Selain tidak punya kapasitas untuk menilai baik atau buruk sebuah karya sinematik,
aktivitas ini juga sudah banyak dilakukan oleh kritikus-kritikus film kebanggan
nasional maupun internasional. Silakan klik kata kunci “Review Midsommar” di
mesin pencarian, akan muncul ratusan ulasan dari para ahli tersebut.
Tapi seperti yang tertera di judul, saya ingin mencoba
menginterpretasi tema dan pesan dalam film. Mohon jangan berharap banyak karena
ini bukan telaah ilmiah yang menggunakan ilmu semiotika atau hermeneutika. Ini cuma
interprerasi “kira-kira” dari seorang awam yang terkesan pada film yang ditontonnya.
Kesimpulannya, Midsommar bukan hanya tentang adegan sadis
dan bugil yang sangat mengganggu dan membuat mual di bagian tengah hingga akhir
film. Bukan pula film yang berkisah mengenai cerita kepahlawanan seorang protagonis
baik hati yang selamat di akhir cerita. Big no, gaes. BIG NO!
image: dalexlynch.wordpress.com
Lebih dari itu, film panjang kedua Ari Aster setelah Hereditary
ini, merupakan eksplorasi tentang perubahan manusia yang drastis sekaligus
kejam untuk keluar dari kepedihan hidup. Representasi Dani sebagai tokoh utama,
seorang yang mengalami depresi karena baru saja kehilangan keluarga. Ia tidak
punya teman selain satu-satunya kekasih, Christian, yang sangat peduli
padanya.
Dari sini, saya langsung meloncat ke akhir film di
mana Dani tersenyum bahagia dengan begitu manisnya saat melihat Christian dan
teman-temannya dibakar dalam sebuah ritual yang dilakukan oleh komunitas atau
sekte Harga di Halsingland, Swedia. Kenapa Dani bisa melakukan itu? Bukankah Christian
adalah satu-satunya orang yang peduli dan mau melakukan apa saja untuk Dani? Kenapa
Dani tak dibakar padahal dia orang luar seperti teman-temannya? Untuk menjawab
semua pertanyaan itu, kawan-kawan lebih baik menontonnya sendiri deh, ya.
image: madamemarkos.tumblr.com
Kembali ke interpretasi pribadi saya, dapat dibaca
sebagai berikut: Selalu ada dua kutub ekstrem dalam diri kita. Satu sisi begitu polos,
satu lagi begitu licik. Di satu sisi penuh empati, di lain sisi sangat kejam. Ada terang, ada gelap. Karakter Dani sendiri terang, ia baik hati, peduli kepada teman yang mengalami kesulitan. Namun seiring alur cerita yang menanjak, lapis demi lapis sisi lain Dani perlahan terlihat: ia punya motif-motif gelap yang tersembunyi.
Ia butuh saluran untuk membebaskan diri dari kekecewaan, kerapuhan bahkan dari rasa benci pada dirinya sendiri. Dan datanglah Pelle, teman Christian
yang merupakan warga asli Harga. Dengan bujuk rayunya yang manis, Pelle yang simpatik berhasil
memanipulasi Dani menjadi bagian dari “keluarga” di Harga dan meyakinkan Dani bahwa teman-temannya termasuk Christian bukanlah “siapa-siapa”
Bara api yang sedang terpenjara menunggu bensin untuk
mengeluarkan murka. Eh, malah dikasih bonus kayu-kayu kering berupa ritual-ritual
ganjil yang mematikan dari sekte Harga. Ngeriiiii. Sekian.
x
Posting Komentar