Foto karya: Littlesideoflife
The unsung
hero tidak punya plakat, tidak bertabur piala, sangat jarang pula dielu-elukan. Tapi apakah mereka memang mengharapkan itu?
Di
Indonesia, guru adalah salah satu contoh the unsung hero atau pahlawan tanpa
tanda jasa. Sudah bukan rahasia bahwa, berbeda dengan para pahlawan yang
diberikan tempat pemakaman khusus dan predikat lewat peraturan Kementerian Sosial
atau tap MPR, guru nyaris senyap dari seremoni.
Betapa
miris jika mengingat kejadian tragis atas guru yang dibunuh muridnya. Atau guru
yang dijadikan guyonan anak-anak didiknya di depan kelas. Padahal, guru, sangat
layak dihargai karena bisa jadi posisinya tak kalah penting dibanding
"pahlawan-pahlawan ketetapan".
Karena
gurulah sebenarnya yang melahirkan pahlawan-pahlawan itu sendiri. Sukarno,
Hatta, Sjahrir, Tjiptomangunkusumo, Cokroaminoto, Agus Salim, untuk menyebut
segelintir nama pahlawan yang merupakan golongan terpelajar generasi awal
Indonesia, tidak mungkin mencapai status demikian itu tanpa jasa guru.
Begitu
pun kini, guru tetap tak tergantikan sebagai pencetak generasi bangsa
yang cerdas. Guru, “digugu dan ditiru”. Begitu pepatah Jawa bertamsil.
Pertanyaannya,
apakah the unsung hero itu hanya ada dalam diri guru? Tentu saja tidak! Di
berbagai aspek hidup, dalam detail keseharian, tentu ada banyak "the unsung
hero", yang ironisnya seringkali luput dari perhatian kita.
Petugas
kebersihan misalnya. Tidak adanya mereka bisa berarti kiamat buat kita. Sebab jangankan
jalan-jalan, mungkin untuk keluar rumah pun pastinya kita malas akibat sampah
berserakan di mana-mana. Pernah kita memikirkan kesejahteraan mereka sampai tergerak untuk mengapresiasi apa yang telah mereka lakukan?
Atau
tukang tambal ban. Lenyapnya mereka adalah bencana besar. Lho saya kan pakai
mobil dan punya ban serep? Bukan di tukang tambal ban pula benerinnya kalau
kempis! Di antara Anda mungkin ada yang bergumam seperti ini.
Oke,
itu artinya bukan untuk Anda. Tapi ini tentang moda transportasi masyarakat
kebanyakan yang menurut Badan Pusat Statistik berjumlah 138.556.669 unit pada
2017 dan bertambah 6,9 juta pada 2018. Pada 2019? Wallahualam. Tapi secara
historis merujuk ke data BPS tersebut, sejak 1949 jumlah sepeda motor tidak
pernah mengalami penurunan di Indonesia.
Foto karya Littlesideoflife
Siapa
lagi? Anak muda yang tak pamrih membantu lansia menyebrang di jalan raya. Orang
tak dikenal yang bukan sanak saudara tapi dengan senang hati menunjukkan arah bahkan mengantar ke tujuan di kala tersesat. Atau pedagang makanan
kaki lima yang menyisihkan jatah khusus untuk para tuna wisma dan tetangga yang membantu saat rumah kebanjiran.
Masih
kurang? Silakan Anda tambah sendiri ya daftarnya.
Buat
saya pribadi, terlepas dari apa pun profesi dan latar belakangnya, the unsung
hero memang selalu ada di sekitar kita. Seperti dulu, waktu pertama saya datang ke
Jakarta. Sebagai anak daerah yang norak, mau tak mau, saya dipaksa terpana
melihat gedung-gedung tinggi dan manusia Jakarta -- yang saya dapat dari televisi
supercuek dan kejam.
Saya
yang baru saja diterima kerja tentu saja harus mencari hunian alias kost untuk
tinggal, yang ternyata susahnya minta ampun. Bukan karena tak ada, melainkan kurang
cocok. Ya, kurang cocok! Ada yang harganya pas, kondisinya buluk. Ada yang oke
punya, tapi harganya membuat saya terpaksa menelan ludah. Ya, kerja aja baru mulai, dapat uang dari mana buat bayar kost yang mahal?
Alhasil,
saya memutuskan tidur di masjid untuk melepas lelah ditambah harapan bisa
bertanya kepada beberapa jamaah terkait informasi kontrakan murah. Saya tidak
ingat nama masjid yang saya tiduri tersebut, tapi saya yakin itu di daerah Slipi.
Dan hanya tersisa ingatan samar tentangnya; letaknya tepat di pinggir jalan
sebuah kompleks pemukiman padat, berwarna pisang matang, berpagar tinggi dengan
lantai agak retak-retak.
Namun, baru saja mata hendak menutup, tetiba sebuah gagang sapu memukul-mukul ringan di pantat. Empunya, seorang lelaki kira-kira berusia lima dasawarsa, berjenggot tipis,
sebagian besar memutih. Tatapannya yang awas membuat hati saya ciut dan refleks
bangun untuk kemudian tergesa duduk.
"Bangun,"
Ia berujar dengan tegas. “Udah mau magrib, orang-orang bakal datang, siap-siap sholat”
tambahnya. Dengan perasaan terpaksa, juga campuran tak enak dan kepala pening,
saya mengambil wudhu.
Singkatnya,
selesai sholat saya beranikan diri mendatanginya dan meminta maaf lantas menceritakan
tentang keadaan yang sedang saya alami. Ia mengangguk-angguk, mendengarkan
dengan khidmat, layaknya seorang murid yang sedang mendengarkan petuah gurunya.
Tanpa
dinyana, ia berkata “Tinggal aja di sini, nak, sampai dapat kontrakannya. Sekalian
bantu-bantu, ya”
Saya
berkaca-kaca dan nyaris merangkulnya. Tiga hari saya tinggal di
masjid bersamanya, sesekali membantunya mengepel, menyapu, dan menyikat toilet kamar mandi. Yang membuat saya sangat terenyuh yaitu ia selalu menyediakan nasi bungkus untuk saya setelah pulang kerja.
Hingga
akhirnya saya mendapat kost-an murah dekat kantor. Tidak bisa tidak saya mesti
mengabarinya dan mengucapkan selamat tinggal serta menghaturkan terima kasih yang tak
terhingga. Ia, ketika itu, saya ingat betul, tersenyum dan melambaikan tangan.
****
Lima
tahun sudah kejadian itu berlalu. Saya tidak pernah lagi ke masjid tersebut, pun sekadar
untuk bersilaturahmi dengan pak Marbot [namanya saya rahasiakan], salah satu the unsung hero dalam hidup saya Apa yang menahan saya? Mungkinkah saya begitu bebal karena menganggap
kebaikan orang cukup diingat sambil lalu? Boleh jadi.
Ataukah empati saya sudah terkuras akibat terlalu banyak pertimbangan bahwa kenal sama orang itu harus ada untung-ruginya? Dan kenapa juga saya harus mengucapkan “SELAMAT TINGGAL” ketika
itu, padahal jumlah orang baik di lingkaran pergaulan saya tidak pernah
terbilang banyak? Entahlah. Dada saya tiba-tiba sesak.
Anda pernah punya pengalaman bertemu the unsung hero dalam tempat dan waktu berbeda seperti saya? Semoga Anda jauh lebih baik dalam menghargai mereka.
Teruskan nulisnya
BalasHapus