Era membaca berita cetak dan menonton berita di
televisi mungkin sudah berakhir. Orang-orang sudah beralih fokus ke sebuah
media baru yang menawarkan kecepatan dan interactivity
lebih sebagai sumber informasi. Itu artinya tidak ada lagi berlarat-larat
kata dalam berita. Semua harus disajikan
secara ringkas, padat, dan jelas, dalam media yang dikenal jurnalistik online.
Itulah premis utama dalam workshop penulisan nonfiksi bersama Plotpoint bertajuk “Jurnalistik
Online” (22/05/2017) di Wisma 77 Tower 2 Jalan S. Parman Kav 77, Slipi, Jakarta
Barat, dengan pemateri Hagi Hagoromo, seorang praktisi media yang sangat kenyang
pengalaman, di antaranya pernah menjadi Pemimpin Redaksi Bintang Milenia dan majalah FourFourTwo.
Hagi juga menjelaskan, kenapa ‘jurnalisme
konvensional’ pada akhirnya harus mengakui keunggulan jurnalistik online.
Setidaknya ada 5 faktor yang menyebabkan hal itu terjadi : (1) Biaya produksi
yang lebih murah; (2) Tidak membutuhkan banyak orang; (3) Tidak mengenal deadline sehingga bisa di-update (4) Cepat tersebar dengan ruang lingkup yang lebih luas;
dan (5) Penyajian konten yang lebih
kaya.
“Jurnalistik online memungkinkan berita disajikan dengan ragam konten yang lebih menarik dan kaya, seperti dilengkapi video, gambar bergerak [GIF], animasi, dan materi multimedia lainnya, dan itu bisa disajikan saat itu juga, mencapai pembaca secara cepat dan luas”, ujar Hagi. Keunggulan-keunggulan ini nyaris tidak dimiliki oleh media cetak ataupun media penyiaran.
Lantas apakah itu berarti jurnalisme konvensional
akan mati? “Bisa juga iya bisa juga tidak”, ia menanggapi salah satu pertanyaan
peserta workshop. Faktanya, saat ini media cetak dan media penyiaran sudah
memiliki lini digitalnya sendiri. Dan terbukti keduanya saling bersinergi. “Hal
itu bergantung kepada seberapa mampu media konvensional tersebut beradaptasi
dengan perkembangan zaman, dalam hal ini digitalisasi dan internet,” Hagi
menambahkan.
Setelah jurnalistik online, sesi kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan mengenai “Deskripsi dalam Tulisan” yang terdiri
atas subbab straight news, feature news, dan jurnalisme sastrawi. Pembahasan
yang mendapat porsi lebih besar di antara yang lain adalah jurnalisme sastrawi,
yang mana jenis jurnalisme ini sangat menarik secara penyajian tapi dengan
segmen pembaca terbatas.
Pasalnya, jurnalisme sastrawi sangat kaya akan
deskripsi dan konstruksi fakta dilakukan dengan narasi yang sangat memanjakan
imajinasi. “Seperti sebuah film, punya alur cerita, plot, dan kronologi waktu,”
Hagi menjelaskan. Tapi hal ini bukan berarti jurnalisme sastrawi tidak memiliki
kelemahan sama sekali. Justru karena sifatnya yang membutuhkan banyak deskripsi
dan narasi, membuat jurnalisme sastrawi membutuhkan space yang lebih besar untuk dimuat. Kecenderungan tersebut tentu
akan sulit berkompromi dengan jurnalisme online yang mengutamakan keringkasan
isi. Selain itu, tidak banyak juga audiens yang memiliki kesabaran untuk
membaca berita dengan gaya bercerita fiksi.
Posting Komentar