Top Menu

The Farewell (2019), Film yang Bakal Membuatmu Makin Kangen Keluarga


Sumber: a24films.com

Rasa kangen terhadap keluarga tidak bisa dibelenggu, meski jarak sejauh separuh dunia. Begitu pula rasa rasa sayang, dari seorang cucu terhadap nenek dan sebaliknya sebagai contoh, tidak bisa dikikis begitu saja oleh perbedaan budaya.

Seperti inilah perasaan Billi Wang, warga Amerika keturunan Asia yang sudah 25 tahun tinggal di New York, yang merasa shock saat mendapat kabar dari Ayah-Ibunya bahwa sang nenek (Nai Nai) yang berada di Tiongkok, menderita kanker parah dan hanya punya waktu lebih kurang tiga bulan.  

Dengan nilai-nilai Barat yang telah kaffah melekat di dalam dirinya, seperti transparansi, keterusterangan, dan kebebebasan ekspresi, Billi meyakini kalau bentuk rasa sayang itu harus diungkapan dengan memberi tahu Nai Nai terkait apa yang sedang ia hadapi. Namun tak dinyana, keyakinannya itu malah mendapat penentangan keras dari kedua orangtuanya yang kemudian menyitir pepatah bijak Tiongkok: 
Ketika seseorang menderita kanker, bukan kanker itulah yang membunuhnya. Hal yang membunuhnya adalah rasa takut
Itu artinya, kondisi Nai Nai harus disembunyikan serapat mungkin atau dengan kata lain, membohonginya seakan semua baik-baik saja. Billi pun putus asa, saat dilarang ikut menjenguk karena dianggap tak akan mampu mengontrol emosi yang dikhawatirkan berujung pada terbongkarnya rahasia.

Dari sinilah plot dalam film The Farewell (2019) bergerak: Kenekatan Billi yang menyusul sendiri dari Amerika untuk menemii Nai Nai; Keterpanaan Billi terhadap kondisi sosial tanah kelahirannya; Interaksi canggung antaranggota keluarga yang lama tak bersua dan beberapa di antaranya tak bisa berbahasa Mandarin; Pernikahan palsu yang diadakan agar bisa mengalihkan perhatian sang nenek; Dan pergulatan batin setiap anggota keluarga atas kebohongan yang mereka sepakati.

Lalu apakah Nai Nai akhirnya tetap meninggal? Dan apakah “kebohongan baik” itu berhasil menghindarkan sang nenek dari penderitaan?

Saya sarankan nonton sendiri filmnya untuk menjawab pertanyaan tersebut, hehe.  

Di sini saya hanya akan memberikan setidaknya tiga kesan yang timbul setelah nonton film garapan sutradara Lulu Wang ini. Pertama, saya merasa relate dan tersentuh karena penggambaran hubungan antara Billi dan Nai Nai begitu natural dengan kasih sayang yang dalam, melebihi hubungan Billi dengan Ayah-Ibunya sendiri.

Ini jelas terlihat dari nenek yang biasanya bersikap diktator kepada anak-anaknya, dihadapan Billi justru melunak.  Sebaliknya, Billi yang biasanya kritis dan bicara blak-blakan serta sering cekcok dengan sang Ibu, selalu menurut pada nasihat sang nenek.

Sumber: theverge.com 

Hubungan erat itu tentu tidak tiba-tiba saja turun dari langit, dan dengan cerdik, sejarah kedekatan tersebut dikonstruksi lapis demi lapis lewat dialog-dialog antar tokoh yang bisa membuat kita bertanya pada dalam diri, terutama buat kamu-kamu yang merantau jauh dan sudah jarang pulang, “Gimana ya perasaan orangtua kita jauh dari anak-anak dan cucunya? Masih ingatkah kita akan kenangan tak terlupakan semasa kecil bersama mereka? Masihkah kita rutin berkomunikasi dengan mereka meski sekadar bertanya kabar?”

Kedua, dialog-dialognya cerdas dan kontemplatif dalam membenturkan nilai-nilai dan aspirasi tradisional dengan yang moderen. Salah satu contohnya, pada sebuah acara makan malam bibi Billi yang selama ini mengurus Nai Nai di Tiongkok bertanya. 

“Di Amerika berapa lama bisa menghasilkan satu juta dollar?”

Billi menjawab santai “Itu uang yang besar, sangat lama pastinya”

Bibinya belum mau berhenti, “Di sini uang sebanyak itu bisa didapatkan dalam hitungan hari, buat apa harus ke Amerika untuk memperbaiki nasib?”

Ekspresi Billi datar saja mendengar itu. Namun ibunya tak terima dan langsung nyamber dengan cerita metaforis, “Suatu hari kami ke gereja dan Billi kecil melihat sebuah piano di sana lalu memainkannya tanpa izin. Ia pun ditegur pendeta dan aku jelaskan bahwa anak kami ini sangat suka main piano tapi kami mohon maaf kalau ia mengganggu. Dan apa yang dilakukan pendeta itu kemudian?” Ibu Billi melempar pertanyaan ke semua orang di meja makan.

“Pendeta itu memberikan kunci gerejanya”

Nyatanya, tanpa diduga Billi menyahut dan malah terkesan membela Bibinya, “Amerika tak seideal itu dan gereja tak mewakili seluruhnya, masih banyak masalah di sana, senjata, tunjangan kesehatan ……… ”

Bisa jadi Wang lewat sosok bibi ingin menggambarkan bahwa sebagian besar alam pikiran masyarakat Tiongkok kini sudah tidak lagi menganggap Amerika sebagai tempat perantauan ideal untuk perbaikan hidup. Mengingat, ekonomi Tiongkok sedang tumbuh-tumbuhnya bahkan dalam beberapa hal melampaui Amerika.

Selanjutnya, melalui sosok ibu, ia ingin menegaskan bahwa tidak semua orang Tiongkok yang merantau motifnya semata-mata karena uang. Lebih dari itu, kebebasan dan rasa aman. Sosok Billi sendiri mewakili sosok anak zaman kiwari yang kritis dan edgy.

Ketiga, jenaka dengan porsi yang pas. Meski kadar lucu setiap orang berbeda-beda, saya yakin beberapa scene di film ini bakal membuatmu bahagia. Minimal menyunggingkan senyum sambil mikir, “Wah gue juga harus punya momen-momen lucu dan seru bareng keluarga kayak gitu ah”

Selamat menonton dan merasa kangen pada keluarga yang nun jauh di sana.




Posting Komentar

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates