Top Menu

Melebur dalam Keseharian


 
Photo by: @anakdolan

Sekali waktu saya jongkok di depan sebuah bangunan yang belum jadi di pusat Kota Jakarta. Saya merasa bingung ketika itu. Alasannya, sepulang kerja tiba-tiba sebuah perasaan kosong serta merta menyerang.

Padahal, tidak ada yang perlu dikeluhkan hari itu. Saya menjalani rutinitas seperti biasa. Kondisi tempat kerja baik-baik saja, tidak ada drama. Bahkan bersama beberapa rekan saya tertawa-tawa. Pekerjaan pun saya selesaikan dengan cukup baik terbukti dari mengalir derasnya ucapan terima kasih.

Namun, langit biru gelap dan papan reklame di beberapa pangkal gedung jadi saksi bisu, betapa saya dibuat lemas sekaligus cemas oleh sebuah blitzkrieg. Ada apa ini? Batin saya berkali-kali sambil terhuyung di antara berjubel orang yang bergegas.

Bunyi-bunyi klakson, pekikan abang ojol yang parau, dan denting sepeda "starling", kian membuat pusing. Hingga saya putuskan menepi sambil memesan ojol agar bisa segera pulang.

Memang apa yang diharapkan tidak melulu sesuai rencana. Ingin segera pulang dan langsung terkapar di kasur, saya malah dihadapkan dengan tarif yang sangat tinggi di aplikasi. Wah, kenapa lagi ini? Bisa-bisanya tarifnya dua kali lipat begini? Gerutu saya dalam hati.

Mohon maaf kalau terdengar norak. Buat saya yang cuma staf biasa dan seorang perantau yang harus bayar ini-itu di Jakarta, kenaikan tarif bisa sangat signifikan efeknya. Terlebih jika akhir bulan, berburu diskon dan promo sering menjadi obat mujarab untuk menghemat. Sialnya, hari itu benar-benar tidak ada diskon dan promo. Hadeuh. 

Maka lengkaplah penderitaan saya. Tidak ada pilihan lain, saya harus menunggu sampai tarif menjadi normal. Sekira satu jam? Apa boleh buat. Alhasil, berjongkoklah saya di depan bangunan setengah jadi yang sudah disinggung tadi.

Tetapi, aktivitas yang awalnya terpaksa ini tak dinyana malah membuat pikiran saya lebih terbuka. Serangan mendadak yang membuat sekujur tubuh saya lemas tadi, sedikit demi sedikit mulai terurai sebabnya. Ditemani seduhan kopi dari gelas plastik bekas kemasan air mineral, saya menerawang jauh ke hari-hari yang lalu. Dan, voila! Mungkinkah serangan ini terjadi karena belakangan saya sangat cemas akan "kehabisan waktu".

Ya, kehabisan waktu. Hidup di area urban saya pikir berbeda sekali dengan masa hidup saya di perdesaan semasa kecil. Di sana waktu seakan berjalan lambat, dan itu masih saya rasakan hingga kini saat sesekali pulang mengunjungi orangtua di kampung halaman.

Embun yang menempel di daun-daun, kicau genit burung yang menimpali lenguhan kerbau, ayam yang sejak subuh berkokok angkuh, membuat waktu begitu padat dan terasa bermakna. Dari jam 6 pagi sampai jam 12 siang seperti 12 jam kerja di Jakarta, dengan suasana yang lebih menenangkan dan menyenangkan pastinya. 

Ah, saya mungkin cuma terserang rasa kangen? Bisa ya, bisa juga tidak. 

Ya, karena semuanya itu bermula saat saya merasakan betapa waktu sudah tidak bersahabat lagi. Saya merasa dijajah oleh waktu mekanis yang mengatur saya jam segini harus melakukan ini, dan jam segitu harus melakukan itu. 

Dan tidak, sebab mungkin saya yang cuma sedang terlalu sentimentil dan mengalami kecemasan berlebihan.

Saya cemas waktu akan habis dalam transjakarta. Saya takut waktu tergerogoti oleh rutinitas; Obrolan-obrolan yang saya pikir kurang bermakna lantaran "ghibahin" artis dan rekan sekerja; Pekerjaan kantor yang nyaris selalu padat hingga akhir pekan padahal keluarga pun butuh perhatian; Hasrat berkarya yang membabi buta tapi cuma berakhir jadi wacana. 
Photo by: @anakdolan

Saya takut, saya khawatir, saya cemas waktu saya tak cukup untuk membesarkan anak, membahagiakan keluarga, meminta maaf kepada teman-teman, membayar cicilan, dan berhedon-hedon ria .....

Langit Jakarta menghitam. Saya pandangi jalan yang sudah mulai lenggang lalu saya lemparkan senyum pada siapa saja. Gayung bersambut. Beberapa membalas, meski tak sedikit pula diam dan menunduk. Namun itu saja sudah membuat saya lega.

Kopi yang tinggal seperempat gelas saya seruput. Saya bergegas memesan kembali layanan ojol sebab biasanya satu jam setelah jam sibuk tarif akan kembali normal. Dan benarlah, tarif sudah ramah lagi di kantong. Tak saya sia-siakan kesempatan ini.
  
***
F. Budi Hardiman dalam bukunya Heidegger dan Mistik Keseharian (2008), menyatakan bahwa kecemasan kita akan waktu berasal dari ketidakmampuan menyatunya "diri" dengan kehidupan sehari-hari yang dipenuhi waktu yang melulu dimaknai sebatas angka.

Detik yang berdetak di arloji, alarm di smartphone, kapan masuk dan pulang dari tempat kerja, jam berapa menyelesaikan deadline, adalah segelintir contoh "waktu objektif" yang membuat kita merasa terpenjara.  

Solusinya, menukil Heidegger, filsuf asal Jerman aliran fenomenologi yang mendedikasikan nyaris seluruh hidupnya untuk mencari hakikat hidup, F. Budi Hardiman menawarkan solusi untuk menangkal hal ini, yaitu dengan mencoba merenungkan apa yang terjadi di masa-masa yang sudah lewat.

Lagu-lagu lama yang mengingatkan pada cinta pertama; Film bokep yang membuat terkesan saat jadi pengangguran; Video viral yang bertepatan dengan kelahiran anak; Pelajaran paling dibenci yang mengingatkan pada masa-masa SMA; dan lain-lain.

Itulah "waktu" yang sebenarnya, momen-momen hidup keseharian, bukan angka-angka mekanis. Sama seperti momen saat saya yang "tanpa sengaja" jongkok menunggu dan mengamati orang-orang pulang kerja yang mengingatkan pada kesan saat pertama kali datang ke Jakarta: Saya tidak akan kuat hidup dengan orang-orang yang tak bertegur sapa dan begitu bergegas. Nyatanya, lima tahun sudah saya masih bertahan. Entah sampai kapan.  


Posting Komentar

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Templates